POJOKSATU.id, JAKARTA – Setelah pihak Polri memenuhi
panggilan praperadilan selaku tergugat di Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Selatan, sidang praperadilan yang diajukan Novel Baswedan yang
dipimpin hakim tunggal Hairi dimulai, Jumat (29/4).
Novel Baswedan sendiri yang membacakan pendahuluan permohonan yang ia
ajukan. Dalam pendahuluan, Novel mempersoalkan perihal penangkpannya
pada 1 Mei 2015 oleh bareskrim Polri.
”Mohon izin, Yang Mulia, saya bacakan sambil berdiri,” kata Novel ketika membacakan permohonannya.
Adapun isi lengkap keberatan Novel sebagai berikut:
‘Mengapa tengah malam? Telepon saja saya akan datang,’ kata saya
saat menemui tim penyidik yang menangkap saya pada tanggal 1 Mei 2015,
sekitar pukul 24.00 WIB.
Pagar rumah saya tidak pernah dikunci, karena saya sering pulang
kerja pada tengah malam dan supaya tetangga mudah mengetuk pintu jika
ada kejadian penting di kampung.
Bukan hanya rumah yang selalu terbuka, handphone saya juga selalu
tersedia dihubungi oleh siapapun. Sekitar tanggal 29 April, seorang
penyidik kirim pesan pendek (BBM) menanyakan kabar dan posisi saya, lalu
saya jawab: ‘kabar baik, saya sedang tugas di Palembang’
Sebagai seorang penegak hukum yang pernah mengabdi di kepolisian,
lalu ditugaskan ke KPK dan sekarang menjadi pegawai tetap KPK, saya
selalu didoktrin untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya, menegakkan
hukum bukan karena kebencian, menegakkan hukum bukan karena dendam,
menegakkan hukum bukan karena mengejar popularitas. Ringkasnya:
menegakkan hukum semata-mata karena alasan hukum, bukan alasan non
hukum. Ketika hukum ditegakkan dengan alasan lain, maka yang terjadi
adalah kesewenang-wenangan dan ketidakprofesionalan. Lalu, siapa yang
menerima manfaat? Tidak tahu. Yang pasti baik KPK maupun kepolisian
tidak menerima manfaat apapun.
Bapak hakim yang saya hormati,
Hati saya miris dan gundah merunut kembali drama penangkapan saya.
Bukan karena saya kehilangan kebebasan meskipun hanya dua hari. Bukan
pula karena menyaksikan pendamping saya melepas saya di tengah malam
tanpa tahu apa yang terjadi pada ayah anak-anaknya. Melainkan karena
aparat negara yang tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
justru melakukan kebohongan demi kebohongan.
Salah satu kebohongan yang diucapkan oleh Kabareskrim adalah saya
memiliki empat rumah. Seolah-olah saya adalah seorang pegawai negeri
yang memiliki harta melimpah. Terhadap tuduhan tersebut, saya sudah
klarifikasi bahwa ada dua rumah dengan atas nama saya, tetapi yang satu
adalah rumah ibu saya.
Meski demikian, rumah tersebut tetap saya
laporkan kepada KPK karena atas nama saya. Karena Kabareskrim tetap
yakin bahwa saya memiliki empat rumah, maka sekali lagi saya sampaikan
bahwa silakan diambil dua rumah yang saya tidak merasa miliki.
Bapak hakim yang saya hormati,
Pimpinan KPK meminta saya untuk cooling down. Tetapi setelah
dipikir-pikir, saya memutuskan justru lebih baik tetap menempuh upaya
hukum praperadilan dengan dua pertimbangan. Pertama, penangkapan dan
penahanan merupakan kewenangan penyidik tetapi harus sesuai ketentuan
dalam hukum acara pidana dan prosedur internal penyidik sendiri.
Dalam pelaksanaannya, penyidik melakukan kewenangannya tersebut
secara melanggar ketentuan hukum acara pidana maupun prosedur internal
penyidik sendiri. Akibat yang tidak terhindarkan adalah kerugian pada
diri saya baik secara materiil maupun immaterial. Kedua, di atas
kepentingan pribadi, concern saya adalah kewibawaan lembaga penegak
hukum, dalam hal ini kepolisian.
Saya ingin menjadikan peristiwa
penangkapan dan penahanan diri saya menjadi momentum untuk mengoreksi
kinerja kepolisian sehingga menjadi pintu masuk untuk meningkatkan
kredibilitas kepolisian itu sendiri.
Permohonan ini akan dimulai dari dasar hukum, paparan tentang
bentuk-bentuk pelanggaran hukum dalam penangkapan dan penahanan dan
kerugian yang saya alami. Permohonan praperadilan ini akan ditutup
dengan tuntutan yang harus dilakukan oleh termohon, yang bukan
semata-mata untuk kepentingan saya, melainkan untuk perbaikan organisasi
kepolisian itu sendiri. (ril)