
POJOKSATU.id, JAKARTA – Indonesia diprediksi bakal
mengalami krisis energi. Ini bisa terjadi jika tidak ada solusi konkret,
untuk mengatasi kesenjangan permintaan energi dan pasokan produksi
minyak dalam negeri yang terus melebar. Tentunya jika kondisi tersebut
dibiarkan, diprediksi krisis tersebut mulai terasa pada 2019, atau saat
Indonesia menjadi negara pengimpor minyak secara besar-besaran.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Dipnala
Tamzil, Selasa (5/5) menyatakan, permintaan energi setiap tahun terus
meningkat tajam. Kalau pada 2010 masih 3,3 juta barel setara minyak per
hari (BOEPD), pada 2025 jumlahnya mencapai 7,7 juta BOEPD. “Kalau tidak
berbuat apa-apa, Indonesia jadi net importer,” ujar Dipnala seperti
dilansir Jawa Pos (Grup Pojoksatu.id).
Tahun 2019 menjadi awal mimpi buruk itu karena kebutuhan energi diprediksi mencapai 6,19 juta BOEPD. Jika kondisi industri migas saat ini dipertahankan, pasokan energi hanya mencapai 6,04 juta BOEPD. Kesenjangan tersebut makin lebar pada 2025 yang diyakini mencapai 2,5 juta BOEPD.
“Kalau tidak ditemukan cadangan baru, 11–12 tahun lagi Indonesia akan kehabisan oil and gas,” terangnya.
Indonesia, sebut Dipnala, sulit untuk menyeimbangkan rasio ideal yang
ideal. Maksudnya, 100 persen produksi keluar dan 100 persen cadangan
baru masuk.
Nah, kalau produksi pada 2025 hanya 47 persen, hal tersebut berarti
telah menggerogoti cadangan. Itu menjadi penyebab utama habisnya
cadangan migas di Indonesia. Kesulitan dalam mengejar terjadi karena
eksplorasi sampai produksi membutuhkan waktu relatif lama.
Kondisi tersebut diperburuk dengan pengurusan izin yang bisa memakan
waktu sampai sepuluh tahun. Artinya, saat lokasi baru sudah siap
digarap, saat itu pula Indonesia sudah menjadi net importer. IPA akan
mencari solusi dengan menggelar konvensi dan ekshibisi ke-39 pada 20–22
Mei di Jakarta Convention Center (JCC).
Presiden IPA Craig Stewart menambahkan, pentingnya sektor energi
membuat pencarian solusi harus dilakukan secara bersama-sama. Kalau
Indonesia sampai defisit energi, tentu saja akan timbul banyak kerugian.
“Subsidi membengkak, penerimaan negara berkurang, dan krisis ekonomi bisa timbul,” urainya.
Beberapa tantangan yang harus dihadapi untuk menciptakan iklim migas
Indonesia cukup banyak. Di antaranya segera mencari solusi untuk
kerumitan birokrasi dan ketidakpastian hukum. Sulitnya akses pemanfaatan
lahan juga harus segera diatasi. Termasuk kurangnya insentif untuk
proyek-proyek masif yang berbiaya tinggi.
“Itu bisa mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam kegiatan
eksplorasi. Supaya ada peningkatan, perlu dilakukan berbagai
penyederhanaan,” tuturnya.
Soal rencana penyederhanaan birokrasi, Yanto Sianipar selaku chairman
IPA Convention and Exhibition (Convex) Ke-39 berharap bisa segera
terealisasi. Meski sampai saat ini belum terdapat langkah nyata untuk
menyederhanakan proses melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),
dia sudah melihat adanya keinginan serius dari pemerintah.
(dim/c9/agm/lya)
No comments:
Post a Comment